| ![]() | ![]() |

Saya menemukan beberapa orang yang takut pada kecoak, bahkan sampai loncat-loncat ketakutan kalau melihat kecoak merayap di lantai. Dalam pikirannya, si kecoak itu pantas ditakuti meskipun tidak pernah mengganggu seorang manusiapun. Dan ketakutan itu dalam waktu singkat bisa berubah menjadi kebencian yang amat sangat. Kebencian yang kemudian perlu ditunjukkan dengan mengambil sapu untuk mengganyang si kecoak sampai gepeng dan tidak bisa merayap lagi. Setelah si kecoak gepeng, tidak bisa merayap lagi, barulah ketakutan itu hilang, sementara. Namun kebencian pada kecoak tetap laten ada di dalam dirinya. Jadi sebenarnya yang terjadi adalah orang bisa benci dan kebencian itu membuatnya takut.
Masalahnya adalah, bahwa si Boss bukan kecoak. Kebetulan si Boss ini adalah pimpinan di perusahaan tempat ia menggantungkan kariernya. Penilaian prestasi kerjanya tergantung pada si Boss satu ini. Situasi yang menyulitkan memang. Karena si Boss yang satu ini, dalam pandangannya lebih mirip Hitler. Maka, setiap kali dia memikirkan si Boss, langsung muncul rasa benci. Dan, situasi yang terjadi hampir mirip, rasa bendi itu bukan terwujudkan dalam sikap konfrontatif namun malahan membuat sikap inferior, takut.
Mengapa orang bisa takut pada si Boss? Akan banyak alasan, tetapi yang sering diketemukan adalah disebabkan karena sudut pandang negatif terhadap pimpinan. Staff memiliki harapan-harapan tertentu yang berbeda-beda mengenai bagaimana sebaiknya Boss memperlakukan mereka, tetapi tidak mendapatkan harapan itu. Apakah ketakutan bisa muncul karena sikap si Boss yang Anda nilai tidak ramah? Atau muncul karena Anda pernah dimarahi si Boss karena sesuatu hal?
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua pimpinan baik adanya. Tetapi bukankah baik dan tidak baik itu relatif? Baik buat Anda belum tentu baik buat orang lain. Dan Boss yang bagi Anda menakutkan, belum tentu ia menakutkan bagi orang lain. Baiklah, tidak perlu pedulikan mengapa relatifitas itu berlaku dibanyak hal. Tetapi, setidaknya dalam kehidupan pekerjaan Anda, mungkin pernah mengalaminya. Anda barangkali pernah berada disebuah situasi yang seandainya Anda bisa memilih, mungkin lebih baik Anda pindah kerjaan daripada menghadapi si Boss yang super menakutkan ini. Boss yang satu ini membuat keringat dingin bercucuran ketika Anda mengingatnya! Mengingatnya? Lah bahkan hanya dengan mengingatnya, sudah berkeringat dingin. Apalagi bila Anda berhadapan dengan si Boss itu. Wah... bisa tiba tiba demam, kaki lemas, dan kalimat-kalimat yang Anda persiapkan tiba-tiba menguap entah kemana.
Lantas, apa yang kemudian terjadi bila menghadapi situasi ini? Bagi Anda yang pernah menghadapi situasi ini, mungkin belum pernah memikirkan bagaimana menghadapinya selain secara spontan tiba-tiba sudah berada dalam situasi itu. Tetapi, sebaiknya Anda baik yang sudah pernah atau belum menghadapi situasi ini, sebaiknya mulai memikirkan kiat-kiat tertentu untuk menghadapi si Boss yang menakutkan.
Perlu diingat! Bahwa pola-pola hubungan masa lalu Anda bisa mempengaruhi hubungan kerja Anda saat ini, tanpa disadari. ”Saya sangat marah dengan skedul ini sampai-sampai saya mau keluar dari pekerjaan ini. Saya tidak ngerti kenapa ini sering terjadi pada diri saya. Si Boss seenaknya sendiri membuat skedul dan jam kerja yang tidak pernah selesai!” Ini adalah salah satu contoh kalimat yang sering muncul diantara staff. Situasi negatif semacam ini akan berlangsung terus menerus.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Sumber awal ketidak puasan dalam hubungan kerja adalah komunikasi tidak lancar. Tim kerja berjalan terlalu mekanis seperti mesin produksi. Mereka lebih banyak berkomunikasi dengan surat dan formulir-formulir. Tanda tangan dan tanda cross check telah menjadi dewa yang mengambil alih kepercayaan satu dengan yang lainnya. Hubungan Boss dengan Staff diikat oleh mesin printer dan jaringan internet. Situasi modern ini telah meruntuhkan nilai-nilai penting organisasi: ikatan emosional!
Mari kita cermati contoh pembicaraan ini: “Apakah Anda sudah bicarakan perasaan Anda terhadap masalah ini dengan pimpinan?”
“Tentu saja sudah. Saya sudah bicarakan apa yang saya mau. Tetapi si Boss tidak pernah mau mendengarkan saya!”
“Bagaimana cara Anda mengatakannya?”
“Saya mengisi form skedul dan mengirimkan kepadanya. Semua orang disini melakukan dengan cara ini!”
”Berapa banyak form yang harus diperiksa pimpinan Anda dalam seminggu?”
”Uhm, saya kira sekitar dua puluh karyawan mengisi form.”
”Apakah kamu pernah bicara langsung dengan pimpinanmu?”
“Saya tidak bisa bicara dengannya. Dia akan marah pada saya.”
Nah, pembicaraan ini sudah membuka sebuah misteri yang amat sangat sering terjadi dalam hubungan pekerjaan. Situasi ini adalah salah satu bentuk atau jenis virus cap-mencap (redaksi: mengenai virus cap mencap ini, lihat rubrik Bad Boss di Majalah Kepemimpinan LeadershipPark, edisi sebelumnya). Staff itu sudah mencap atau sudah me-label pimpinannya dengan “akan marah” atau “mudah marah” kalau dia bicara dengannya. Label ini cenderung membawa tim kerja untuk mencap pimpinan menjadi Bad Boss!
Ini virus yang berbahaya! Bagaimana dia tahu bahwa pimpinannya akan marah? Adakah dia memiliki pengalaman masa lalu bahwa pernah dimarahi pimpinannya dengan cara yang kasar? Atau, bisa jadi staff ini memiliki pengalaman masa lalu seperti sering dimarahi oleh orang tuanya, oleh gurunya atau oleh suami/istrinya jika “bicara mengenai perasaan”.
Orang-orang terbiasa menghadapi masalah yang terjadi saat ini dengan persepsi yang dihasilkan dari masa lalunya. Jelas bisa bias. Situasi, waktu, dorongan dan kepentingan barangkali sudah sangat berbeda. Yang pada saat ini belum berubah hanyalah cara pandang terhadap masalah itu.
Situasi dalam hubungan pekerjaan memang akan menimbulkan dinamika hak dan kewenangan kedua belah pihak. Boss dan Staff. Memang dalam posisi yang lebih baik, si Boss memiliki kewenangan lebih besar untuk mengatur, misalnya jadwal Staff agar tercapai target organisasi. Sementara itu, apa kewenangan yang dimiliki Staff? Menjalankan pekerjaan dan menyelesaikan tugas sebenarnya lebih tepat bila dipandang sebagai kewenangan daripada kewajiban. Dengan me-reposisi sudut pandang ini membuat tingkat akurasi dan kualitas penyelesaian tugas akan bisa dilakukan dengan lebih menyenangkan.
Bukankah manusia lebih senang melakukan kewenangan daripada kewajiban? Bukankah rasa terbeban lebih sering muncul kalau sedang melakukan kewajiban?
Tim kerja harus memiliki semangat yang besar untuk bisa menghasilkan lebih daripada biasa. Untuk membangkitkan semangat harus tercipta situasi motivasional yang memadai. Situasi motivasional yang memadai harus dilakukan dengan komunikasi yang cukup intens. Artinya, apabila masih ada staff yang takut bicara dengan si Boss, maka bisa dipahami telah terjadi dua hal penting!
Yaitu, pertama bahwa si Boss belum pernah membuka diri dengan menciptakan semua saluran komunikasi yang memungkinkan setiap orang staff dibawahnya bisa berkomunikasi dengan lancar. Bagaimana mengatasinya? Mudah! Si Boss musti banyak senyum ramah dan menciptakan lebih sering pertemuan tatap muka dengan seluruh staff. Si Boss khawatir wibawanya akan jatuh bila terlalu banyak bergaul dengan kalangan staff? Silahkan pikirkan. Benarkah keakraban dengan bawahan akan meruntuhkan wibawa dan kredibilitas? Lantas dimana letaknya kebanggaan atas prestasi dan kinerja bila kewibawaan hanya ditentukan oleh rasa segan dan kebanggaan jabatan.
Kedua, bahwa beberapa staff memiliki pengalaman masa lalu yang tidak bagus. Ini juga cukup sering terjadi. Tanda-tandanya adalah semua staff tampak adem ayem di permukaan, tetapi jauh di dalam hati mereka berkecamuk ketidak puasan yang tidak tersalurkan. Bila ini didiamkan banyak muncul jerawat tim kerja, potensi konflik yang sewaktu-waktu bisa meletus. Bagaimana solusinya? Jelas ini lebih sulit. Karena situasinya sangat individual dan memerlukan pendekatan individual.
Seandainya Si Boss sudah melakukan yang pertama dan situasi tidak membaik, maka seberanya bisa memintakan bantuan dari HRD (SDM). Mereka pastilah berpengalaman menyelesaikan problem-problem individual dalam hubungannya dengan pekerjaan.
Tetapi, penting untuk selalu diingat, baik Boss ataupun Staff sebaiknya terus menerus meningkatkan kemampuan dan kemauan berkomunikasi. Tanpa dua hal ini, tim kerja akan terseok-seok. Bagaimana menurut Anda? DanG
Masalahnya adalah, bahwa si Boss bukan kecoak. Kebetulan si Boss ini adalah pimpinan di perusahaan tempat ia menggantungkan kariernya. Penilaian prestasi kerjanya tergantung pada si Boss satu ini. Situasi yang menyulitkan memang. Karena si Boss yang satu ini, dalam pandangannya lebih mirip Hitler. Maka, setiap kali dia memikirkan si Boss, langsung muncul rasa benci. Dan, situasi yang terjadi hampir mirip, rasa bendi itu bukan terwujudkan dalam sikap konfrontatif namun malahan membuat sikap inferior, takut.
Mengapa orang bisa takut pada si Boss? Akan banyak alasan, tetapi yang sering diketemukan adalah disebabkan karena sudut pandang negatif terhadap pimpinan. Staff memiliki harapan-harapan tertentu yang berbeda-beda mengenai bagaimana sebaiknya Boss memperlakukan mereka, tetapi tidak mendapatkan harapan itu. Apakah ketakutan bisa muncul karena sikap si Boss yang Anda nilai tidak ramah? Atau muncul karena Anda pernah dimarahi si Boss karena sesuatu hal?
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua pimpinan baik adanya. Tetapi bukankah baik dan tidak baik itu relatif? Baik buat Anda belum tentu baik buat orang lain. Dan Boss yang bagi Anda menakutkan, belum tentu ia menakutkan bagi orang lain. Baiklah, tidak perlu pedulikan mengapa relatifitas itu berlaku dibanyak hal. Tetapi, setidaknya dalam kehidupan pekerjaan Anda, mungkin pernah mengalaminya. Anda barangkali pernah berada disebuah situasi yang seandainya Anda bisa memilih, mungkin lebih baik Anda pindah kerjaan daripada menghadapi si Boss yang super menakutkan ini. Boss yang satu ini membuat keringat dingin bercucuran ketika Anda mengingatnya! Mengingatnya? Lah bahkan hanya dengan mengingatnya, sudah berkeringat dingin. Apalagi bila Anda berhadapan dengan si Boss itu. Wah... bisa tiba tiba demam, kaki lemas, dan kalimat-kalimat yang Anda persiapkan tiba-tiba menguap entah kemana.
Lantas, apa yang kemudian terjadi bila menghadapi situasi ini? Bagi Anda yang pernah menghadapi situasi ini, mungkin belum pernah memikirkan bagaimana menghadapinya selain secara spontan tiba-tiba sudah berada dalam situasi itu. Tetapi, sebaiknya Anda baik yang sudah pernah atau belum menghadapi situasi ini, sebaiknya mulai memikirkan kiat-kiat tertentu untuk menghadapi si Boss yang menakutkan.
Perlu diingat! Bahwa pola-pola hubungan masa lalu Anda bisa mempengaruhi hubungan kerja Anda saat ini, tanpa disadari. ”Saya sangat marah dengan skedul ini sampai-sampai saya mau keluar dari pekerjaan ini. Saya tidak ngerti kenapa ini sering terjadi pada diri saya. Si Boss seenaknya sendiri membuat skedul dan jam kerja yang tidak pernah selesai!” Ini adalah salah satu contoh kalimat yang sering muncul diantara staff. Situasi negatif semacam ini akan berlangsung terus menerus.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Sumber awal ketidak puasan dalam hubungan kerja adalah komunikasi tidak lancar. Tim kerja berjalan terlalu mekanis seperti mesin produksi. Mereka lebih banyak berkomunikasi dengan surat dan formulir-formulir. Tanda tangan dan tanda cross check telah menjadi dewa yang mengambil alih kepercayaan satu dengan yang lainnya. Hubungan Boss dengan Staff diikat oleh mesin printer dan jaringan internet. Situasi modern ini telah meruntuhkan nilai-nilai penting organisasi: ikatan emosional!
Mari kita cermati contoh pembicaraan ini: “Apakah Anda sudah bicarakan perasaan Anda terhadap masalah ini dengan pimpinan?”
“Tentu saja sudah. Saya sudah bicarakan apa yang saya mau. Tetapi si Boss tidak pernah mau mendengarkan saya!”
“Bagaimana cara Anda mengatakannya?”
“Saya mengisi form skedul dan mengirimkan kepadanya. Semua orang disini melakukan dengan cara ini!”
”Berapa banyak form yang harus diperiksa pimpinan Anda dalam seminggu?”
”Uhm, saya kira sekitar dua puluh karyawan mengisi form.”
”Apakah kamu pernah bicara langsung dengan pimpinanmu?”
“Saya tidak bisa bicara dengannya. Dia akan marah pada saya.”
Nah, pembicaraan ini sudah membuka sebuah misteri yang amat sangat sering terjadi dalam hubungan pekerjaan. Situasi ini adalah salah satu bentuk atau jenis virus cap-mencap (redaksi: mengenai virus cap mencap ini, lihat rubrik Bad Boss di Majalah Kepemimpinan LeadershipPark, edisi sebelumnya). Staff itu sudah mencap atau sudah me-label pimpinannya dengan “akan marah” atau “mudah marah” kalau dia bicara dengannya. Label ini cenderung membawa tim kerja untuk mencap pimpinan menjadi Bad Boss!
Ini virus yang berbahaya! Bagaimana dia tahu bahwa pimpinannya akan marah? Adakah dia memiliki pengalaman masa lalu bahwa pernah dimarahi pimpinannya dengan cara yang kasar? Atau, bisa jadi staff ini memiliki pengalaman masa lalu seperti sering dimarahi oleh orang tuanya, oleh gurunya atau oleh suami/istrinya jika “bicara mengenai perasaan”.
Orang-orang terbiasa menghadapi masalah yang terjadi saat ini dengan persepsi yang dihasilkan dari masa lalunya. Jelas bisa bias. Situasi, waktu, dorongan dan kepentingan barangkali sudah sangat berbeda. Yang pada saat ini belum berubah hanyalah cara pandang terhadap masalah itu.
Situasi dalam hubungan pekerjaan memang akan menimbulkan dinamika hak dan kewenangan kedua belah pihak. Boss dan Staff. Memang dalam posisi yang lebih baik, si Boss memiliki kewenangan lebih besar untuk mengatur, misalnya jadwal Staff agar tercapai target organisasi. Sementara itu, apa kewenangan yang dimiliki Staff? Menjalankan pekerjaan dan menyelesaikan tugas sebenarnya lebih tepat bila dipandang sebagai kewenangan daripada kewajiban. Dengan me-reposisi sudut pandang ini membuat tingkat akurasi dan kualitas penyelesaian tugas akan bisa dilakukan dengan lebih menyenangkan.
Bukankah manusia lebih senang melakukan kewenangan daripada kewajiban? Bukankah rasa terbeban lebih sering muncul kalau sedang melakukan kewajiban?
Tim kerja harus memiliki semangat yang besar untuk bisa menghasilkan lebih daripada biasa. Untuk membangkitkan semangat harus tercipta situasi motivasional yang memadai. Situasi motivasional yang memadai harus dilakukan dengan komunikasi yang cukup intens. Artinya, apabila masih ada staff yang takut bicara dengan si Boss, maka bisa dipahami telah terjadi dua hal penting!
Yaitu, pertama bahwa si Boss belum pernah membuka diri dengan menciptakan semua saluran komunikasi yang memungkinkan setiap orang staff dibawahnya bisa berkomunikasi dengan lancar. Bagaimana mengatasinya? Mudah! Si Boss musti banyak senyum ramah dan menciptakan lebih sering pertemuan tatap muka dengan seluruh staff. Si Boss khawatir wibawanya akan jatuh bila terlalu banyak bergaul dengan kalangan staff? Silahkan pikirkan. Benarkah keakraban dengan bawahan akan meruntuhkan wibawa dan kredibilitas? Lantas dimana letaknya kebanggaan atas prestasi dan kinerja bila kewibawaan hanya ditentukan oleh rasa segan dan kebanggaan jabatan.
Kedua, bahwa beberapa staff memiliki pengalaman masa lalu yang tidak bagus. Ini juga cukup sering terjadi. Tanda-tandanya adalah semua staff tampak adem ayem di permukaan, tetapi jauh di dalam hati mereka berkecamuk ketidak puasan yang tidak tersalurkan. Bila ini didiamkan banyak muncul jerawat tim kerja, potensi konflik yang sewaktu-waktu bisa meletus. Bagaimana solusinya? Jelas ini lebih sulit. Karena situasinya sangat individual dan memerlukan pendekatan individual.
Seandainya Si Boss sudah melakukan yang pertama dan situasi tidak membaik, maka seberanya bisa memintakan bantuan dari HRD (SDM). Mereka pastilah berpengalaman menyelesaikan problem-problem individual dalam hubungannya dengan pekerjaan.
Tetapi, penting untuk selalu diingat, baik Boss ataupun Staff sebaiknya terus menerus meningkatkan kemampuan dan kemauan berkomunikasi. Tanpa dua hal ini, tim kerja akan terseok-seok. Bagaimana menurut Anda? DanG
No comments:
Post a Comment