Thursday, July 10, 2008

Indonesia Belum Punya Merek

Sebuah baliho raksasa bertema Visit Indonesia Year 2008 terpampang di Bundaran Hotel Indonesia, Selasa (1/1). Pemerintah mencanangkan tahun Kunjungan Wisata 2008 dengan target tujuh juta orang wisatawan manca negara dan dipromosikan dengan tema Celebrating 100 year National Awakening.
Rabu, 9 Juli 2008 | 23:01 WIB

JAKARTA, RABU - Indonesia dinilai sebagai negeri tanpa merek (brand). Padahal, merek sangat menentukan citra negeri ini. Di era persaingan global sekarang ini, pencitraan merek (branding) sangat penting dalam strategi pencitraan dan pemasaran supaya orang bisa tahu keunikan negeri ini, apakah sebagai tujuan wisata, pusat produksi barang tertentu, atau tempat yang menguntungkan untuk investasi.

"Bayangkan Prancis tanpa mode, Jerman tanpa produk mobil mewah, dan Jepang tanpa produk elektronik yang menjadi keunggulannya dari bangsa lain," ujar pakar branding Randal Frost. Prancis, Jerman dan Jepang adalah contoh negeri yang bisa mencitrakan dirinya berbeda dengan bangsa lain. Prancis identik dengan dunia fashion. Jerman dengan Mercedes Benz. Jepang dengan Sony, Toshiba, atau LG.

Negara-negara tetangga juga sudah lebih baik mencitrakan dirinya. Malaysia dan Singapura telah berhasil membangun identitas nasionalnya dan menjualnya dengan gegap gempita. Dengan slogan "Malaysia is truly Asia", negeri jiran itu sukses mencitrakan diri sebagai negara yang memiliki resort yang indah dan negara dengan multikultural yang rukun.

Hampir tiap bulan wartawan-wartawan Indonesia diundang ke Kuala Lumpur, Johor, atau Genting oleh Badan Pelancongan Malaysia. Mereka pun menuliskan laporannya di media masing-masing bagaimana indahnya Kuala Lumpur dilihat dari puncak Menara Petronas, enaknya mie rebus Haji Wahid di Johor, atau bagaimana maraknya suasana Genting, pusat perjudian di negara berpenduduk mayoritas Muslim itu. Semuanya diagendakan untuk menarik perhatian turis agar berkunjung ke Malaysia.

Sementara Singapura dengan slogan "Uniquely Singapore" juga berhasil membangun mereknya sebagai surga untuk belanja di Asia. Orang-orang Indonesia, apalagi pada saat liburan sekolah sekarang ini, tumplek blek ke Negeri Singa itu karena terpincut iklan "Singapore's Great Sale". Tiket pesawat dibuat murah, dengan harapan sesampainya di negara kota itu, para turis bisa menghabiskan uang mereka untuk belanja dan membayar biaya akomodasi yang mahal.

"Ini ironi yang merisaukan. Saat kita mengkampanyekan 'Visit Indonesia Year 2008', pers nasional mengajak liburan ke negeri tetangga," kata Sekjen PR Society of Indonesia, Ahmed Kurnia Suriawidjaja. Ahmed Kurnia menyebut kegagalan bangsa ini dalam pencitraan dirinya. Padahal, dulunya, merk Indonesia cukup bagus sebagai "Keajaiban Asia" (Asia Miracle) yang dipuja-puji lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia atau Badan Pangan PBB.

Akibat krisis ekonomi tahun 1998, semuanya terpuruk. Citra dan merek Indonesia hancur. Jadilah, Indonesia negeri tanpa merek. Tidak ada satu pihak pun yang memikirkan branding, karena semua energi bangsa terkuras menghadapi krisis. Keperluan untuk pencitraan terkalahkan oleh tekanan untuk segera keluar dari krisis dan memulihkan perekonomian nasional.

Oleh karena Indonesia tidak sempat memikirkan citra, maka pihak lainlah yang memberikan merek kepada negeri ini. Ketika dunia sedang memerangi terorisme, maka Indonesia dicap sebagai negara pelindung teroris (harboring terrorism).

Transparancy International memberi label Indonesia sebagai salah satu negara terkorup. Travel warning yang dikeluarkan Amerika Serikat dan Australia memberi stigma Indonesia sebagai negara tidak aman dan berbahaya. Sementara pegiat HAM internasional "menggoreng" kasus terbunuhnya Munir dengan menuding Indonesia sebagai negara pelanggar hak asasi manusia dan membiarkan terjadinya pembunuhan politik.

Memang, belakangan ada upaya untuk kembali memikirkan perbaikan citra. "Indonesia pernah membuat pencitraan, namun selalu berubah-ubah," kata Ketua Indonesia Brand Entourage Handito Hadi Joewono.

Handito menyebut slogan-slogan yang pernah ada dikembangkan pasca lengsernya Soeharto, seperti "Indonesia, just a smile away", "Indonesia, The color of life", "Indonesia endless beauty of diversity" dan "Celebrating 100 Years of National Awakening".

"Tapi upaya itu sepertinya enggak nendang," katanya. Dengan kata lain, semboyan tersebut tidak mengena sasaran atau sesuatu yang tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan.

Handito menekankan pentingnya dikembangkan citra baru atau "rebranding of Indonesia". Citra negeri yang merosot merupakan pendorong paksa perubahan merk Indonesia. Ia mengatakan saat ini terjadi krisis pencitraan (brand crisis) sehingga perlu rebranding. Dalam istilah hukum dikenal adanya "rehabilitasi nama baik" berupa dipulihkannya nama baik seseorang yang terbukti tidak bersalah atas kasus hukum tertentu.

"Rehabilitasi nama baik merupakan contoh concrete dari rebranding," katanya. Masalahnya, mau diberi merk apa Indonesia ke depan? Apapun merknya, yang penting brand Indonesia itu merupakan keunggulan bangsa Indonesia yang unik dan tidak dimiliki bangsa lain. Begitu juga apakah Indonesia itu akan dicitrakan sebagai tujuan wisata, penghasil produk unggul tertentu, atau tempat investasi yang baik, adalah subyek untuk diputuskan oleh semua stakeholderrebranding. Sampai kapan negeri ini tanpa merek? bangsa ini. Intinya Indonesia perlu


WAH
Sumber : Antara

No comments: